Aku bocah yang tak berteman,
seharusnya. Karena setiap hari aku menangis dan dibully di sekolah.
Satu-satunya temanku adalah Lia. Ntah dia nyata atau tidak. Bertahun
baru aku menyadari ia hanya khayalan. Teman khayalan. Yang setiap sore
menemaniku berayun di playground TK Tunas Rimba. .
.
Aku
menemukan teman baru. Nisa pindah ke SD tempat hampir kami semua,
bocah-bocah komplek peneliti disekolahkan. Dia satu-satunya teman yang
sebaya denganku di komplek itu. Lalu aku perlahan mencari teman lain.
.
.
Temanku
bertambah. Aku, bocah yang tak mau berkata sedikitpun. Hanya isak
tangis dan jeritan enggan bersekolah yang keluar dari mulutku. Menemukan
teman lagi? Hal yang sulit. Tapi entah, aku temukan juga mereka.
Perlahan, Lia lenyap dari hidupku. Aku tidak menemukannya lagi di ayunan
berkarat itu. Tidak melihat rambut hitamnya yang panjang serta gaun
putihnya yang indah. Temanku kini nyata.
.
.
Kami
bersembunyi di balik gua ilalang. Sekarang sedang perang. Sudah
berlangsung berhari-hari. Antara tim 1 dengan tim yang lain. Bocah-bocah
komplek itu. Kadang tak terlihat di atas pohon pinus, kadang menghilang
di balik udara dingin. Perang yang seru sekali. Dengan senapan pelepah
pisang. Perang lalu berakhir. Ntah siapa yang menang. Aku lupa. Yang
kuingat hanyalah aku, abangku, dan seorang teman berhasil 'selamat' dan
pergi ke mesjid. Di sana aku menemukan cinta pertama. Astaga, aku bahkan
masih kelas tiga. .
.
"Tiiiin...tiiiiin..."
suara klakson dari mulut-mulut mungil bersahutan. Berisik. Anak lelaki
terus menerus memutari gedung TK Tunas Rimba dengan sepeda. Pura-pura
menjadi bis, ternyata. Aku berdiri di tiang bendera, berperan sebagai
penjaga pom bensin. Menakjubkannya imajinasi anak-anak. .
.
Boneka
barbie-ku patah. Cat kuku-ku habis. Semua dirusak dan kami menemukan
sekeranjang mainan kami hancur di kamar kecil tak terpakai TK Tunas
Rimba. Pasti ulah anak laki-laki. Kami menangisi boneka itu. Aku rindu
berhati selembut itu, menangisi hal kecil yang di mataku berharga.
Penegasan atas kemurnian cinta anak-anak.
.
.
Banyak
selosong peluru kosong di sini. Hutan ini. Sepertinya ada pasukan yang
berlatih menembak. Aku menyadari, anak kecil sangat mampu berkreasi. Peluru kosong itu dikumpulkan,
disimpan baik-baik. Nantinya, ia digunakan sebagai pembatas rumah-rumah
barbie. Bahkan masing-masing dari bocah ini membuat desain sendiri. Aku
rindu menjadi cerdas dan bebas seperti itu. Tidak tertekan karena
dituntut mengeluarkan ide terbaik.
.
Mungkin sudah 12 tahun. Rumahku dulu
penuh ilalang tinggi. Pohon pisang hiasan yang dulu anggun kini seperti
monster, menutupi sebagian besar halaman. Udara tidak sebeku dulu. Aku
tidak mendengar bocah-bocah mengoceh. Saung kami berkumpul telah roboh.
Dan yang paling menyedihkan, TK Tunas Rimba persis seperti rumah hantu.
Sepeda kami tak akan mampu berkeliaran lagi di sekitarnya. Ayunan
berkarat itu, ntahlah, mungkin tinggal tiang. Jangan cari kami lagi.
Kami telah hilang. Bertransformasi menjadi orang kota, dengan gaya orang
kota, dan dewasa. Tapi mungkin, sesekali bisa kau dengar tawa bahagia,
kalau kau berhasil memutar memori dengan vcd rusak.
Dalam sekali ini cerita..
BalasHapus