Kamis, 12 Oktober 2017

TEMAN KECIL

Aku bocah yang tak berteman, seharusnya. Karena setiap hari aku menangis dan dibully di sekolah. Satu-satunya temanku adalah Lia. Ntah dia nyata atau tidak. Bertahun baru aku menyadari ia hanya khayalan. Teman khayalan. Yang setiap sore menemaniku berayun di playground TK Tunas Rimba. .
.
Aku menemukan teman baru. Nisa pindah ke SD tempat hampir kami semua, bocah-bocah komplek peneliti disekolahkan. Dia satu-satunya teman yang sebaya denganku di komplek itu. Lalu aku perlahan mencari teman lain.
.
.
Temanku bertambah. Aku, bocah yang tak mau berkata sedikitpun. Hanya isak tangis dan jeritan enggan bersekolah yang keluar dari mulutku. Menemukan teman lagi? Hal yang sulit. Tapi entah, aku temukan juga mereka. Perlahan, Lia lenyap dari hidupku. Aku tidak menemukannya lagi di ayunan berkarat itu. Tidak melihat rambut hitamnya yang panjang serta gaun putihnya yang indah. Temanku kini nyata.
.
.
Kami bersembunyi di balik gua ilalang. Sekarang sedang perang. Sudah berlangsung berhari-hari. Antara tim 1 dengan tim yang lain. Bocah-bocah komplek itu. Kadang tak terlihat di atas pohon pinus, kadang menghilang di balik udara dingin. Perang yang seru sekali. Dengan senapan pelepah pisang. Perang lalu berakhir. Ntah siapa yang menang. Aku lupa. Yang kuingat hanyalah aku, abangku, dan seorang teman berhasil 'selamat' dan pergi ke mesjid. Di sana aku menemukan cinta pertama. Astaga, aku bahkan masih kelas tiga. .
.
"Tiiiin...tiiiiin..." suara klakson dari mulut-mulut mungil bersahutan. Berisik. Anak lelaki terus menerus memutari gedung TK Tunas Rimba dengan sepeda. Pura-pura menjadi bis, ternyata. Aku berdiri di tiang bendera, berperan sebagai penjaga pom bensin. Menakjubkannya imajinasi anak-anak. .
.
Boneka barbie-ku patah. Cat kuku-ku habis. Semua dirusak dan kami menemukan sekeranjang mainan kami hancur di kamar kecil tak terpakai TK Tunas Rimba. Pasti ulah anak laki-laki. Kami menangisi boneka itu. Aku rindu berhati selembut itu, menangisi hal kecil yang di mataku berharga. Penegasan atas kemurnian cinta anak-anak.
.
.
Banyak selosong peluru kosong di sini. Hutan ini. Sepertinya ada pasukan yang berlatih menembak. Aku menyadari, anak kecil sangat mampu berkreasi.
Peluru kosong itu dikumpulkan, disimpan baik-baik. Nantinya, ia digunakan sebagai pembatas rumah-rumah barbie. Bahkan masing-masing dari bocah ini membuat desain sendiri. Aku rindu menjadi cerdas dan bebas seperti itu. Tidak tertekan karena dituntut mengeluarkan ide terbaik.
.
Mungkin sudah 12 tahun. Rumahku dulu penuh ilalang tinggi. Pohon pisang hiasan yang dulu anggun kini seperti monster, menutupi sebagian besar halaman. Udara tidak sebeku dulu. Aku tidak mendengar bocah-bocah mengoceh. Saung kami berkumpul telah roboh. Dan yang paling menyedihkan, TK Tunas Rimba persis seperti rumah hantu. Sepeda kami tak akan mampu berkeliaran lagi di sekitarnya. Ayunan berkarat itu, ntahlah, mungkin tinggal tiang. Jangan cari kami lagi. Kami telah hilang. Bertransformasi menjadi orang kota, dengan gaya orang kota, dan dewasa. Tapi mungkin, sesekali bisa kau dengar tawa bahagia, kalau kau berhasil memutar memori dengan vcd rusak.

1 komentar: