Selasa, 27 November 2018

Senjang

Apa-apa serba di Jakarta. Kalau tidak di Jakarta, ya sekitar-sekitarnya saja. Pantas anak muda malas pulang dan mengabdi di kampungnya. Di Jakarta semua serba ada. Kemewahan dan kekumuhan beranak pinak di kota gemerlap itu. Sewaktu sidang dulu, yang meloloskanku bukanlah jawaban absurd mengada-ngada dan sok tau kepada dosen penguji. Jika hanya mempertimbangkan nilai yang diberikan oleh Penguji, aku sedikit banyak yakin lolos dari ruangan ini membawa nilai C. Syukur Alhamdulillah, nilai akhir dari sidang skripsi didapatkan dari dosen penguji dan dosen pembimbing. Sebagai dosen pembimbing, tentu kadang ada keberpihakan kepada mahasiswa bimbingannya. Meskipun dosen pembimbingku tidak seperti itu, karena beliau memiliki integritas dan kejujuran tingkat tinggi, ditambah fakta bahwa aku adalah anak koleganya di almamater ini 40 tahun yang lalu. Beliau tentu ingin melihat apakah aku mewarisi sikap intelektual dari Bapakku yang cerdas bukan kepalang di masanya. Apakah aku sekedar anak manja di bawah perlindungan rekan yang tidak bisa ditindas karena nanti mengadu.
Kembali ke jawaban yang menentukan kelulusanku. Seperti kukatakan, aku lulus bukan karena jawaban absurd nan sok tahu kepada penguji. Tapi justru jawaban kepada dosen pembimbing yang bertanya, "kamu bikin skripsi ini manfaatnya apa?". Setengah membual aku menjawab, jawaban yang diplomatis tapi diliputi harapan yang siapa tau bisa terlaksana.
"Data ini bisa dipakai masyarakat, Pak. Untuk memajukan mereka dengan caranya dan sumberdaya alamnya sendiri". Panjang lebar kuceritakan saja mimpi-mimpi yang menghantuiku sejak SMA, yang berakhir menjadi skripsi tebal dengan 45 halaman lampiran, menanti diwujudkan. Dosen-dosen mengangguk. Aku menangis. Bukan takut tidak lulus. Sekedar haru mimpi muluk itu didengar expert. Profesor pula.
Pertanyaan-pertanyaan mengalir mengenai tumbuhan obat yang menjadi bahan perbincangan skripsiku. Segala macam teori kuungkapkan, dosen-dosen terkadang mendengus, terkadang mengangguk. Lalu pertanyaan terakhir diajukan, yang sesungguhnya tidak ada hubungan dengan topik yang kubahas.
"Mengapa Indonesia ini tidak maju-maju?" Profesor itu yang bertanya. Klasik! Aku tau benar Profesor yang satu ini eksentrik dan suka mengata-ngatai pemerintah. Maka, segala macam slide kuliah yang berhubungan dengan hal itu sudah kubabat tadi malam. Kujawab dan Profesor menunjukkan wajah tidak puas. Aih, jawaban itu kan ajaran Anda, Prof!
"Itu semua sudah jelas. Tapi menurut kamu sendiri, kenapa??" Aku terdiam. Kenapa? Mendadak aku kembali ke masa lampau karena pertanyaan kenapanya itu. Bayangan masa kecilku hingga remaja di kampung halaman melintas. Aku ingat benar, pertama menginjakkan kaki di kampus ini, yang menyapaku adalah kekaguman dan kesadaran bahwa aku bodoh bukan buatan. Pertama kali aku menempelkan mata ke mikroskop ya di kampus ini, di laboratorium pengajaran mata kuliah Biologi. Sementara kolegaku mendengus bosan, tentu dia sudah hapal hingga mikroskop SEM dan teman-temannya. Di SMA-mungkin di SD juga, mereka puas memandangi benda itu. Di SMA ku tidak ada mikroskop. Bahan-bahan kimia di laboratorium, jika cair dia sudah membeku, dan jika padat dia sudah hancur saking berpuluh tahunnya ada di sana, tak terjamah. Model badan manusia beserta organ dalamnya berdebu, nampak betul tak tersentuh. Ruang laboratorium itu lebih sering dipakai rapat OSIS, menjadi saksi akan konspirasi masa muda para anggotanya yang diwarnai bermacam korupsi. Fasilitas tak memadai, demikian sebabnya.
Lalu kuingat tentang KRL, tentang trans Jakarta, tentang apapun itu yang ada di ibukota tapi nihil di kampung halaman. "Indonesia begini saja karena kesenjangan yang besar, Pak." Air mataku kembali mendanau di pelupuk. Oh, seandainya negeri ini dipimpin dengan adil, aku tidak terseok-seok belajar dan berani bermimpi lebih besar. Ilmu-ilmu kami akan lebih melimpah. Bukan hanya ber "oooooh" ria dengan kagum karena kami kampungan. Kebaikan-kebaikan seolah hanya dipoles di kota metropolitan dan tetangga-tetangganya saja. Kualirkan cerita mengenai ketidakadilan yang mendera kampungku dibandingkan kota dengan segala pejabat negara ini. Kusesali ketimpangannya. Profesor tersenyum dengan miris. "Betul!", dan aku terhenyak.
"Betul, memang ketidakadilan itulah sebabnya. Kemajuan apapun berpusat di sini, di kota besar ini. Adapun yang di kampung hanya terciprat sedikit, itupun yang kena petinggi daerah. Masyarakatnya begitu saja." Profesor mengatakannya dengan marah. Ia muak dan muntab.
"Maka, kamulah yang harus pulang, anak muda! Kamulah yang harus perbaiki ketertinggalan itu. Pulanglah! Mengabdilah! Wujudkan cita-citamu! Buatlah masyarakat itu tidak terkekang kebodohan." Aih, mantap benar nasihat beliau. Aku tertunduk, malu karena sebagian besar diriku enggan. Enggan, karena setelah kucicipi ternyata racikan kehidupan di kota ini nikmat. Fasilitas serba ada, mau apapun serba bisa. Asal tau celah dan informasi, maka hiduplah kamu dengan kesenangan seperti di tivi-tivi itu. Gagasan pulang, dengan mimpi yg terpatri dari SMA, menjadi jauh. Tapi, keegoisan macam itukah yang menyebabkan kampung kami demikian saja selamanya? Karena, yang berkewajiban memajukan negara ini pun enggan menjenguk kampung-kampung kecil. Apa bedanya aku dan egoku dengan mereka, kalau begitu? Aku menunduk dan menjawab "Ya.." sepelan mungkin.

Morex