Apa-apa
serba di Jakarta. Kalau tidak di Jakarta, ya sekitar-sekitarnya saja. Pantas
anak muda malas pulang dan mengabdi di kampungnya. Di Jakarta semua serba ada.
Kemewahan dan kekumuhan beranak pinak di kota gemerlap itu. Sewaktu
sidang dulu, yang meloloskanku bukanlah jawaban absurd mengada-ngada dan sok
tau kepada dosen penguji. Jika hanya mempertimbangkan nilai yang diberikan oleh
Penguji, aku sedikit banyak yakin lolos dari ruangan ini membawa nilai C.
Syukur Alhamdulillah, nilai akhir dari sidang skripsi didapatkan dari dosen
penguji dan dosen pembimbing. Sebagai dosen pembimbing, tentu kadang ada
keberpihakan kepada mahasiswa bimbingannya. Meskipun dosen pembimbingku tidak
seperti itu, karena beliau memiliki integritas dan kejujuran tingkat tinggi,
ditambah fakta bahwa aku adalah anak koleganya di almamater ini 40 tahun yang
lalu. Beliau tentu ingin melihat apakah aku mewarisi sikap intelektual dari
Bapakku yang cerdas bukan kepalang di masanya. Apakah aku sekedar anak manja di
bawah perlindungan rekan yang tidak bisa ditindas karena nanti mengadu.
Kembali ke jawaban yang
menentukan kelulusanku. Seperti kukatakan, aku lulus bukan karena jawaban
absurd nan sok tahu kepada penguji. Tapi justru jawaban kepada dosen pembimbing
yang bertanya, "kamu bikin skripsi ini manfaatnya apa?". Setengah
membual aku menjawab, jawaban yang diplomatis tapi diliputi harapan yang siapa
tau bisa terlaksana.
"Data ini bisa dipakai masyarakat, Pak. Untuk
memajukan mereka dengan caranya dan sumberdaya alamnya sendiri". Panjang
lebar kuceritakan saja mimpi-mimpi yang menghantuiku sejak SMA, yang berakhir
menjadi skripsi tebal dengan 45 halaman lampiran, menanti diwujudkan.
Dosen-dosen mengangguk. Aku menangis. Bukan takut tidak lulus. Sekedar haru
mimpi muluk itu didengar expert. Profesor pula.
Pertanyaan-pertanyaan
mengalir mengenai tumbuhan obat yang menjadi bahan perbincangan skripsiku.
Segala macam teori kuungkapkan, dosen-dosen terkadang mendengus, terkadang
mengangguk. Lalu pertanyaan terakhir diajukan, yang sesungguhnya tidak ada
hubungan dengan topik yang kubahas.
"Mengapa Indonesia
ini tidak maju-maju?" Profesor itu yang bertanya. Klasik! Aku tau benar
Profesor yang satu ini eksentrik dan suka mengata-ngatai pemerintah. Maka,
segala macam slide kuliah yang berhubungan dengan hal itu sudah kubabat tadi
malam. Kujawab dan Profesor menunjukkan wajah tidak puas. Aih, jawaban itu kan
ajaran Anda, Prof!
"Itu semua sudah
jelas. Tapi menurut kamu sendiri, kenapa??" Aku terdiam. Kenapa? Mendadak
aku kembali ke masa lampau karena pertanyaan kenapanya itu. Bayangan masa
kecilku hingga remaja di kampung halaman melintas. Aku ingat benar, pertama
menginjakkan kaki di kampus ini, yang menyapaku adalah kekaguman dan kesadaran
bahwa aku bodoh bukan buatan. Pertama kali aku menempelkan mata ke mikroskop ya
di kampus ini, di laboratorium pengajaran mata kuliah Biologi. Sementara
kolegaku mendengus bosan, tentu dia sudah hapal hingga mikroskop SEM dan
teman-temannya. Di SMA-mungkin di SD juga, mereka puas memandangi benda itu. Di
SMA ku tidak ada mikroskop. Bahan-bahan kimia di laboratorium, jika cair dia
sudah membeku, dan jika padat dia sudah hancur saking berpuluh tahunnya ada di
sana, tak terjamah. Model badan manusia beserta organ dalamnya berdebu, nampak
betul tak tersentuh. Ruang laboratorium itu lebih sering dipakai rapat
OSIS, menjadi saksi akan konspirasi masa muda para anggotanya yang diwarnai
bermacam korupsi. Fasilitas tak memadai, demikian sebabnya.
Lalu kuingat tentang
KRL, tentang trans Jakarta, tentang apapun itu yang ada di ibukota tapi nihil
di kampung halaman. "Indonesia begini saja karena kesenjangan yang
besar, Pak." Air mataku kembali mendanau di pelupuk. Oh, seandainya negeri
ini dipimpin dengan adil, aku tidak terseok-seok belajar dan berani bermimpi
lebih besar. Ilmu-ilmu kami akan lebih melimpah. Bukan hanya ber
"oooooh" ria dengan kagum karena kami kampungan. Kebaikan-kebaikan
seolah hanya dipoles di kota metropolitan dan tetangga-tetangganya saja.
Kualirkan cerita mengenai ketidakadilan yang mendera kampungku dibandingkan
kota dengan segala pejabat negara ini. Kusesali ketimpangannya. Profesor
tersenyum dengan miris. "Betul!", dan aku terhenyak.
"Betul, memang
ketidakadilan itulah sebabnya. Kemajuan apapun berpusat di sini, di kota besar
ini. Adapun yang di kampung hanya terciprat sedikit, itupun yang kena petinggi
daerah. Masyarakatnya begitu saja." Profesor mengatakannya dengan marah.
Ia muak dan muntab.
"Maka, kamulah
yang harus pulang, anak muda! Kamulah yang harus perbaiki ketertinggalan itu.
Pulanglah! Mengabdilah! Wujudkan cita-citamu! Buatlah masyarakat itu tidak
terkekang kebodohan." Aih, mantap benar nasihat beliau. Aku tertunduk,
malu karena sebagian besar diriku enggan. Enggan, karena setelah kucicipi
ternyata racikan kehidupan di kota ini nikmat. Fasilitas serba ada, mau apapun
serba bisa. Asal tau celah dan informasi, maka hiduplah kamu dengan kesenangan
seperti di tivi-tivi itu. Gagasan pulang, dengan mimpi yg terpatri dari SMA,
menjadi jauh. Tapi, keegoisan macam itukah yang menyebabkan kampung
kami demikian saja selamanya? Karena, yang berkewajiban memajukan negara ini
pun enggan menjenguk kampung-kampung kecil. Apa bedanya aku dan egoku dengan
mereka, kalau begitu? Aku menunduk dan menjawab "Ya.." sepelan mungkin.
Morex