Kamis, 20 Januari 2022

SENANDIKA SENJA-Prolog

    Gelas yang kau hirup menyisakan aroma kopi susu dan mengantarku pada masa-masa di mana dulu kau masih bahagia. Raut wajahmu kosong, jelas diliputi hampa yang menyesakkan sementara matamu memandang awang-awang yang sayup-sayup bisa kudengar ada obrolan apa di sana. Seandainya aku bisa membasuh lukamu dan merawatnya dengan baik. Mengembalikan senyummu yang tak pernah terlihat lagi sejak saat itu. Hari di mana dunia runtuh dan hati semua orang berkeping-keping. 
    Ragamu di sini tapi jelas-jelas batinmu pergi. Separoh jiwamu hilang dan aku membencinya. Kutanya pelan, "Jadi, bagaimana?" Hanya hela napas yang keluar dan kita kembali senyap. Bahkan bulan sembunyi, kodok bangkong terdiam, hujan berhenti menari. Ah, hening ini membuatku menderita. Aku mengaduk teh dan lama-lama terhisap ke dalamnya. Larut, lenyap menuju masa lalu.

Selasa, 18 Januari 2022

Mati Lampu

Suara printer sore itu bersaing dengan jangkrik yang mulai muncul. Tuts keyboard bernada bagai piano di jarimu. Sesungguhnya aku tidak harus lembur, tapi sengaja kulama-lamakan diri di sana. Dengan segala kemampuan drama yang kupunya, aku pura-pura masih kerja. Sementara rekan kita yang lain sudah sedari Ashar tadi pamit dari kantor.
Kopi kita tinggal sehirup. Kertas sudah kurapikan dan ragaku siap pulang. Batinku yang berontak memaksa untuk tinggal barang sejenak. Tiba-tiba, mati lampu.
Kau mengeluh dalam gelap. Aku ikut-ikutan. Mendadak saja sepi. Petang datang dan adzan Maghrib menggema.
"Kau tidak pulang?" Tanyamu. Aku jawab tidak. Aku mau menunggu terang lagi sekalian menyelesaikan pekerjaan lain. Magrib itu aku separoh berdusta. 
"Baiklah, aku sholat dulu di mesjid. Hati-hati di sini sendiri. Ada hantu!" Selorohmu. Aku mengomel karena benci cerita hantu tapi suka candamu. 
Lama kutunggu listrik tak juga menyala. Sementara sayup-sayup suara Imam mesjid memberitahuku para lelaki masih sampai rakaat dua. Aku menyerah. Tidak baik bagiku berlama-lama sendirian walaupun aku ingin pulang bersama. Sesuatu hal yang tidak pantas tapi moralku kalah dengan perasaan. Kulambatkan gerak demi mengobral waktu. Imam akhirnya mengucap salam.
Tiba-tiba kau muncul.
"Sepertinya kau harus pulang," katamu. Aku mengangguk setuju. Tidak ada gunanya menunggu lagi. 
"Sebentar," katamu lagi. Kemudian kau menyalakan sepeda motor, lampu sorot menerangi jalanku. Aku tau kau tidak akan bisa mengantarku. Lampu sorot itu sudah lebih dari cukup
"Silakan, dan hati-hati!" Katamu lagi. Aku tersenyum melenggang pulang, denganmu mengamati.

Orang yang jatuh cinta memang cenderung melakukan hal-hal bodoh.

Senin, 17 Januari 2022

Di Balik Kursi

Ada bisik-bisik berbatas kursi bis patas. Cengkerama yang ingin kita lanjutkan siang malam tanpa perlu diketahui siapapun. Kulirik dari jendela, bayanganmu memantul sedang senyum malu-malu. Aku ikut tersipu.
Bis terus melaju bagai obrolan kita. Tidak kudengar sahut yang lain, pikiranku sibuk merangkai cerita. Matahari turun, keremangan memenuhi dan detak jantungmu semakin jelas karena kali ini, orang-orang hanyut dalam dengkur. Ditenangkan mimpi sampai tujuan meski aku tak mau bis berhenti. Kuraba punggung kursimu, seandainya saja kita tanpa sekat.

Laun aku terpejam. Kisah kita sudah berakhir. Waktu hari terang lagi, kudapati matamu berkaca-kaca menatapku dari balik kursi bis patas.