Dengan
agak kesal kurapikan dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja
kerjanya."Duh, berapa kali sih, harus diingatkan supaya bisa lebih
rapi?!!" batinku. Aku sedang mencoba memasukkan sebundel kertas ke dalam
laci mejanya yang membludak, ketika kudengar suara cerianya dari luar.
"Abi pulaaaaaang!"
Akhirnya
kujejalkan begitu saja bundelan itu, dan bergegas ke pintu depan untuk
menyambutnya. Pikiranku sibuk menata kata-kata apa yang akan aku
sampaikan supaya lelaki ini bisa 'tobat' dari aksi berantakannya. Alisku
nyaris menyatu, kesal sekali. Aku lelah seharian berhadapan dengan tugas
rumah tangga dan urusan dapur. Kesal, jenuh, bosan, dan ingin
marah. Ditambah lagi kelakuannya yang sembrono. Begitu kubuka pintu, aku
sudah siap meluapkan keluh kesahku. Namun, alih-alih mendapati
wajahnya, aku malah berhadapan dengan sebuket bunga mawar cerah. Aku
terpelongo. Kemudian mawar itu digenggamkan ke tanganku, dan tampaklah
wajah letih dan senyum khas lelaki yang pernah dalam sekali kucintai.
"Assalamu'alaikum, umi.."
katanya lembut. Aku meleleh. Menyesal dengan keluh kesahku. Aku tau dia
juga lelah. Tetesan keringat mengalir pelan dari dahinya. Tentu saja,
dia juga bekerja. Demiku, demi kami. Perlahan anak sungai terbentuk di
pipiku. Terharu, dan marah pada diriku.
"Loh, umi kok nangis? Terharu
ya? Hehe.." dia bertanya polos, lalu mengusap pipiku. Aku tersenyum. Dalam hati
kubalas salam yang belum sempat mendapat jawaban itu. Seketika lelahku serta emosiku mereda. Betapa lembutnya
lelaki di hadapanku ini. Memalukan sekali aku kehilangan kendali dan emosi, sementara romantisme darinya begitu terbaca.