Kamis, 12 Oktober 2017

Sebuah Pengertian

Dengan agak kesal kurapikan dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja kerjanya."Duh, berapa kali sih, harus diingatkan supaya bisa lebih rapi?!!" batinku. Aku sedang mencoba memasukkan sebundel kertas ke dalam laci mejanya yang membludak, ketika kudengar suara cerianya dari luar.
"Abi pulaaaaaang!"
Akhirnya kujejalkan begitu saja bundelan itu, dan bergegas ke pintu depan untuk menyambutnya. Pikiranku sibuk menata kata-kata apa yang akan aku sampaikan supaya lelaki ini bisa 'tobat' dari aksi berantakannya. Alisku nyaris menyatu, kesal sekali. Aku lelah seharian berhadapan dengan tugas rumah tangga dan urusan dapur. Kesal, jenuh, bosan, dan ingin marah. Ditambah lagi kelakuannya yang sembrono. Begitu kubuka pintu, aku sudah siap meluapkan keluh kesahku. Namun, alih-alih mendapati wajahnya, aku malah berhadapan dengan sebuket bunga mawar cerah. Aku terpelongo.  Kemudian mawar itu digenggamkan ke tanganku, dan tampaklah wajah letih dan senyum khas lelaki yang pernah dalam sekali kucintai.
"Assalamu'alaikum, umi.." katanya lembut. Aku meleleh. Menyesal dengan keluh kesahku. Aku tau dia juga lelah. Tetesan keringat mengalir pelan dari dahinya. Tentu saja, dia juga bekerja. Demiku, demi kami. Perlahan anak sungai terbentuk di pipiku. Terharu, dan marah pada diriku.
"Loh, umi kok nangis? Terharu ya? Hehe.." dia bertanya polos, lalu mengusap pipiku. Aku tersenyum. Dalam hati kubalas salam yang belum sempat mendapat jawaban itu. Seketika lelahku serta emosiku mereda. Betapa lembutnya lelaki di hadapanku ini. Memalukan sekali aku kehilangan kendali dan emosi, sementara romantisme darinya begitu terbaca.

Fire Wings Richeese Factory

Suatu hari, seorang murid di sekolah kehidupan pergi mengembara. Ia menunggangi kuda ajaibnya yang berwarna merah muda. Perjalanan yang ia tempuh cukup jauh dan melelahkan. Murid itupun merasa lapar, perutnya yang memang agak berbeda dengan perut manusia kebanyakan bergenderang nyaring dan berisik. Demi memenuhi hasrat perutnya yang berkeroncong itu, ia mengarahkan pacu kudanya menuju pasar. Kuda terus berderap dengan kencang dan akhirnya tibalah mereka di pinggir pasar. Dari kejauhan, murid itu melihat sebuah tenda besar berwarna merah dan oranye, sangat mencolok di keramaian pasar. Seperti tersihir, ia menghampiri tenda itu tanpa menoleh kemanapun lagi. Di atap tenda itu terpasang tulisan 'pabrik keju'. Alih-alih menjual keju, tenda tersebut malah menjual ayam bermacam-macam. Sang murid melongo dan mengagumi serba serbi ayam itu. "Anda sedang lapar, Tuan?" Penjaga stan menghampiri dan bertanya. Ia adalah seorang bapak gendut yang kelihatan sangat ramah dan kenyang. Pipinya gembil berwarna merah berseri-seri. Entah mengapa, melihat bapak itu nafsu makan sang murid meningkat berkali lipat. Ia secara spontan menunjuk seonggok daging ayam yang warnanya cerah sekali, tidak pernah ia lihat sebelumnya. "Wah, wah. Itu adalah ayam api, Tuan. Rasanya pedas luar biasa. Tapi untuk menghilangkan pedasnya, saya sudah menyiapkan air ramuan yang segar ini. Lengkap dengan pasta keju yang lezat!" Penjaga stan tampak semangat menjelaskan menunya yang 'pedas' itu. Sang murid mengangguk, ia ingin mencoba ayam api. Lantas ia pergi meninggalkan pasar dan berteduh di bawah sebatang pohon yang di bawahnya terdapat mata air kecil. Gigitan pertama, rasa lezat menghampiri seisi mulut sang murid. Gigitan kedua, rasa pedaslah yang singgah. Gigitan ketiga, telinganya serasa terbakar. Buru-buru ia meminum ramuan yang diberikan tadi, yang warnanya sangat mirip kuda ajaib dan rasanya pun ajaib. Meskipun lidah dan telinganya serasa terbakar, serta matanya mulai berair lantaran kepedasan, ia seolah tidak mampu berhenti mengunyah. Setelah habis santapannya, sang murid duduk sejenak. Perlahan, rasa nyeri menusuk-nusuk perutnya. Oh tidak! Ia dilarang tabib makan makanan pedas. Sekarang, maagnya kumat  

The End

Rezeki Bubur Ayam

Fabiayyi 'ala irabbikuma tukadzdzibaan?

Nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Kisah ini harus diurai kembali menuju masa lalu. Tepatnya 6 tahun yang lalu. Bercerita tentang satu porsi bubur ayam. .
.
Alkisah, 6 tahun yang lalu, ada seorang anak gadis yang sangat suka makan bubur ayam telkom siantar. Rasa merica yang menggigit lidahnya tidak hilang dari ingatan. Suatu hari, gadis itu sangat ingin makan bubur ayam tersebut. Dia pun berkata pada teman-temannya:
.
.
Anak gadis: pengen bubur ayam telkom kali lho weee (logat siantar)
Kawan-kawan: kau belilah sana ke telkom itu
Anak gadis: kayaknya istirahat kedua aku mau naik angkot lah ke sana
Kawan-kawan: pigilah kau sana. Jauh gitu kok mau pigi pulak (ngejek)
Anak gadis: gak tau aku weee. Kok pengen kali yaa?
.
.
Anak gadis itu pun termenung saking pengennya. Dia pun bertekad mau naik angkot buat beli bubur ayam telkom yang jauh kali dari sekolahnya. Tiba-tiba....
.
.
"Trik, kau dicariin mamakmu!" Kata kawannya. Anak gadis ini langsung melihat ke arah pintu kelas. Di sana berdiri sesosok perempuan bercadar dengan kantong plastik berwarna merah. Itu adalah bu AL, ibu si anak gadis, sekaligus guru di sekolahnya. Bu AL masuk dan meletakkan kantok plastik itu. .
.
Bu AL: mama teringat kakak belum sarapan. Jadi mama beli ini
.
.
si anak gadis pun membuka box yang ada di plastik merah itu dan menemukan BUBUR AYAM TELKOM SIANTAR
.
.
Dengan mata berbinar dia berkata pada bu AL
.
.
Anak gadis: dari tadi pengen ini lho ma
Bu AL: (tersenyum, eh gak kelihatan) rezekinya kakak
Anak gadis: 😢😢😢 terima kasih ya Allah
.
.
Demikianlah, anak gadis itu pun makan bubur ayam yang diidam-idamkannya sedari pagi.
.
.
Sekian
pigi: pergi
Kali: banget
Pulak: pula

pencuri

Kau pastilah waktu, yang banyak mencuri dariku. Merenggut masa kecil yang asam murbei ungu. Merampas perih dari tajam jarum tusam, wanginya menusuk inderaku

Kau kijang kecil, terperangkap semak kaliandra di kebun kenangan
Kau angin beku, merias udara dengan napas putih
Kau ayunan tua bergoyang sendiri sepi, ternaung si kelengkeng yang malas berbuah
Kau semak belukar, ibuku marah sebab bajuku rusak kau jerap


1999-2005
Aek Nauli, Sumatera Utara


kunci-mu

"Hey.." sapamu. Aku berbalik dan menemukan sepasang mata yang berbinar. Aku menatapmu heran. Ada apa?
"Apa kau punya kuncinya?" Tanyamu sambil berseri. "Kata orang kau punya kuncinya. Tolong beritahu aku!" Ujarmu lagi. Aku semakin tak mengerti. Kunci manapun yang kau maksud, jelas aku tak memilikinya. Satu-satunya kunci yang ada di saku-ku, dan di seluruh tempat manapun yang adalah hak-ku, hanya kunci berkarat tempat tinggalku. Rumah mungil yang rasa-rasanya hampir roboh. Aroma kayu dan rayap yang mungkin beribu-ribu itu selalu menerpa saat pintunya yang berdecit kubuka. Selain itu, aku tidak punya kunci. Kunci loker sekalipun. Aku menggeleng menjawab pertanyaanmu, dengan bingung. Wajahmu memelas, dan kau mendesak, "Tapi orang-orang bilang kau punya!" Hah! Geram sekali aku melihatmu. Tidak ya tidak. Sekali lagi aku menggeleng, "kunci apapun itu, aku tidak tau" kataku. Mencoba meyakinkan. "Memangnya kau cari kunci apa?"
"Aku mencari kunci agar mampu menyelami laut dunia tanpa meninggalkan tempat ini" suaramu lesu, namun ada secercah harap. "Aku juga mencari kunci, untuk menatap matahari terbenam di pagi hari.." Mana bisa! Matahari terbenam di sore hari, batinku. "Aku mencari kunci...membuka jendela dunia" Aku tersentak, seperti memahami. Tapi aku mengeleng lagi, seketika lupa apa yang kau maksud, meski beberapa detik sebelumnya memaknai tujuanmu. "Adilnya begini, kau ikut aku saja ke rumahku. Nanti kau cari sendiri kunci itu" rayuku. Aku duga kau tidak punya tempat tinggal dan usiamu terlihat amat muda. Tak akan kubiarkan kau kelaparan. Kau setuju. Perlahan kita menaiki tangga reyot, membuka daun pintu yang berdcit, menghirup aroma kopi, dan menemukan..selemari penuh buku-buku terpampang serampangan di rak lapuk, nyaris tumbang...
Dan matamu... binarnya semakin terang
#random

Buku dan Kesia-siaan

"Ya Allah, dek. Buku lagi?" Mas Ridwan setengah tak percaya melihatku yang kewalahan membawa buku-buku berdebu. Buku itu kutemukan di sudut kota, tepatnya di dalam toko tua beraroma kayu. Papannya jelas-jelas mengatakan 'jual beli buku bekas'. Sejak pertama kali kakiku menginjak lantai papan yang berdenyit itu, aku langsung jatuh cinta. Kerap kali aku ke sana hanya sekedar mengagumi buku-buku yang covernya nyaris lepas.
"Aneh kamu ini," begitu selalu Mas Ridwan menanggapi permintaanku akan buku-buku itu. Katanya, kebanyakan wanita teman-temannya meminta barang-barang mewah atau trendi atau apalah, yang jelas bukan buku dengan kertas hilang dimakan rayap. Tapi, diserahkannya juga sejumlah uang agar minatku pada kata-kata terpenuhi. Beberapa hari aku mulai akrab dengan penjaga toko, seorang gadis berkacamata. Dan ada pula satu pelanggan tetap, seorang lelaki yang selalu memesan kopi susu yang memang disediakan. Aku memperhatikan bahwa laki-laki ini menaruh hati pada si gadis, sama dengan aku yang mencintai buku. Aku sering pulang dari toko, seperti kali ini, dengan banyak buku. Rumahku penuh buku. Sampai Mas Ridwan mengeluh rumah itu aromanya seperti jaman dahulu. Dan kali ini Mas Ridwan tak tahan dengan tingkahku. Dia dengan syok memandangi buku-buku yang semakin lama semakin menggunung.
"Ay, aku tau kamu suka buku. Aku paham. Aku gak marah kalo kamu belanja buku. Tapi...ini keterlaluan!" Katanya. Alisnya hampir menyatu pertanda kesal. Aku menatapnya dengan tatapan berkaca-kaca.
"Tapi aku cinta buku, Mas.." jawabku.
"Iya, aku tau. Tapi kalo tiap hari kamu pulang bawa buku segini banyak, belum dibaca pula, buat apa? Mencari ilmu gak sampe mubazir gini, Ay!" Katanya lagi.
Aku terisak. Akhirnya lelakiku ini melembut. Diusapnya pipiku.
"Aku gak marah. Aku senang kamu rajin mencari ilmu. Tapi selesaikan satu persatu, ya. Boros itu sifatnya setan, yang boros temennya setan. Kalo kamu beli tapi gak dibaca, kan sayang. Masa perempuanku yang cantik temenan sama setan?" Dasar sok lucu!
Aku terhenyak juga. Buku-buku itu lebih banyak menumpuknya daripada dibaca. Ah, aku jadi merasa bersalah. Baiklah, aku selesaikan!

BENCI BUNGA

Bunga benci
Burung berisik berbisik
Biasanya berkicau
Bising
.
.
Bunga benci
Burung berbuih bicara
Betapa bunga bercahaya
Bagai bulan
.
.
Bunga benci
Burung bercuit bercicit
Banyak bualan
Biar bunga bergoyah
.
.
Bunga benci
Buaian burung berlanjut

TEMAN KECIL

Aku bocah yang tak berteman, seharusnya. Karena setiap hari aku menangis dan dibully di sekolah. Satu-satunya temanku adalah Lia. Ntah dia nyata atau tidak. Bertahun baru aku menyadari ia hanya khayalan. Teman khayalan. Yang setiap sore menemaniku berayun di playground TK Tunas Rimba. .
.
Aku menemukan teman baru. Nisa pindah ke SD tempat hampir kami semua, bocah-bocah komplek peneliti disekolahkan. Dia satu-satunya teman yang sebaya denganku di komplek itu. Lalu aku perlahan mencari teman lain.
.
.
Temanku bertambah. Aku, bocah yang tak mau berkata sedikitpun. Hanya isak tangis dan jeritan enggan bersekolah yang keluar dari mulutku. Menemukan teman lagi? Hal yang sulit. Tapi entah, aku temukan juga mereka. Perlahan, Lia lenyap dari hidupku. Aku tidak menemukannya lagi di ayunan berkarat itu. Tidak melihat rambut hitamnya yang panjang serta gaun putihnya yang indah. Temanku kini nyata.
.
.
Kami bersembunyi di balik gua ilalang. Sekarang sedang perang. Sudah berlangsung berhari-hari. Antara tim 1 dengan tim yang lain. Bocah-bocah komplek itu. Kadang tak terlihat di atas pohon pinus, kadang menghilang di balik udara dingin. Perang yang seru sekali. Dengan senapan pelepah pisang. Perang lalu berakhir. Ntah siapa yang menang. Aku lupa. Yang kuingat hanyalah aku, abangku, dan seorang teman berhasil 'selamat' dan pergi ke mesjid. Di sana aku menemukan cinta pertama. Astaga, aku bahkan masih kelas tiga. .
.
"Tiiiin...tiiiiin..." suara klakson dari mulut-mulut mungil bersahutan. Berisik. Anak lelaki terus menerus memutari gedung TK Tunas Rimba dengan sepeda. Pura-pura menjadi bis, ternyata. Aku berdiri di tiang bendera, berperan sebagai penjaga pom bensin. Menakjubkannya imajinasi anak-anak. .
.
Boneka barbie-ku patah. Cat kuku-ku habis. Semua dirusak dan kami menemukan sekeranjang mainan kami hancur di kamar kecil tak terpakai TK Tunas Rimba. Pasti ulah anak laki-laki. Kami menangisi boneka itu. Aku rindu berhati selembut itu, menangisi hal kecil yang di mataku berharga. Penegasan atas kemurnian cinta anak-anak.
.
.
Banyak selosong peluru kosong di sini. Hutan ini. Sepertinya ada pasukan yang berlatih menembak. Aku menyadari, anak kecil sangat mampu berkreasi.
Peluru kosong itu dikumpulkan, disimpan baik-baik. Nantinya, ia digunakan sebagai pembatas rumah-rumah barbie. Bahkan masing-masing dari bocah ini membuat desain sendiri. Aku rindu menjadi cerdas dan bebas seperti itu. Tidak tertekan karena dituntut mengeluarkan ide terbaik.
.
Mungkin sudah 12 tahun. Rumahku dulu penuh ilalang tinggi. Pohon pisang hiasan yang dulu anggun kini seperti monster, menutupi sebagian besar halaman. Udara tidak sebeku dulu. Aku tidak mendengar bocah-bocah mengoceh. Saung kami berkumpul telah roboh. Dan yang paling menyedihkan, TK Tunas Rimba persis seperti rumah hantu. Sepeda kami tak akan mampu berkeliaran lagi di sekitarnya. Ayunan berkarat itu, ntahlah, mungkin tinggal tiang. Jangan cari kami lagi. Kami telah hilang. Bertransformasi menjadi orang kota, dengan gaya orang kota, dan dewasa. Tapi mungkin, sesekali bisa kau dengar tawa bahagia, kalau kau berhasil memutar memori dengan vcd rusak.

Curiga


Tapi tidakkah aku curiga?
Bahwa sesungguhnya akulah yang kerap meletakkan ekspektasi terlampau tinggi
Menabur harap terlalu banyak
Menanam ego teramat dalam
Sehingga, ketidaksesuaian buatku kecewa
Paling merana
"Ini bukan mauku!" Aku membatin. Namun barangkali mauku bukan mau orang lain.
Atau barangkali aku terlampau sibuk menempatkan prasangka di tiap sisi



Membayangkan betapa angkuhnya dunia terhadapku
Seolah semua berniat menjatuhkanku
.
.
Benarkah aku yang paling benar dan yang lain paling salah?
Benarkah aku yang dilukai dan yang lain melukai?
Bagaimana jika,
Ternyata ada torehan lebih dalam kuukir di hati yang lain
.
.
“Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik” -Amirul Mukminin Umar bin Khattab.

Rabu, 11 Oktober 2017

TOTALITAS TANPA BATAS

"Cara supaya kamu benar-benar menekuni apa yang kamu kerjakan sekarang, adalah dengan mengorbankan banyak hal dalam menjalaninya," demikian nasihat mbak yang baik hati melatihku memanah. Tidak persis seperti itu, tapi begitulah intinya. Aku curhat betapa mahalnya peralatan memanah. Sebatang anaknya saja bisa mengeringkan kantong dalam sekejap. Masih satu anak panah. Apalagi sewaktu string putus, mata anak panah menghilang, dan segenap perintilannya yang harganya agak keterlaluan dilihat dari sudut pandang anak rantau. "Kalo kamu tabung perlahan-lahan, kamu beli satu persatu, bukankah kamu jadi lebih semangat untuk berlatih?"
Ah, dia benar. Karena selanjutnya kocek harus dirogoh, demi olahraga yang lain. Yang sama menyenangkannya dan sama berfaedahnya. Awalnya latihan sebulan sekali. Lambat laun seminggu sekali. Semakin ke sini merencanakan seminggu dua kali.
"Aku punya peralatan ini. Sayang kalo gak pernah dipakai."
Kemudian terbinalah diri ini, jiwa raga dan pikirannya. Kadang, totalitas harus tanpa batas.

Getir

Dalam dadak
Guyur hujan bertemu sambar
Abu-abu, sore itu
Penghujung Oktober yang basah
Persis pipimu,
Sepatumu, bajumu, rambutmu
Kuyup
Kuintip sedikit ke hatimu, ternyata membara
Mengapa pipi dinginmu menyala?
Oktober ini, pipiku yang basah
Hatiku pun
Mataku
Matamu
Matanya
Senyap dan petir lalu berdansa,
Dalam irama isak.