Sabtu, 29 Agustus 2015

Baik



Aku merenung diam di ruang tengah. Kuperhatikan rintik hujan dari jendela besar yang menghiasi ruangan itu. Ah, Rei. Pergi ke mana lagi, sih? Batinku bertanya-tanya. Apa karena hujan ini kamu lama pulangnya? Aku kesepian. Kutunggu Rei sedari sore hari tadi, hingga kini malam mulai menyibak. Tiba-tiba  kudengar deru mobil, yang lamat-lamat menjadi diam, berganti debum pintu mobil dan langkah kaki. Rei! Dia pulang. Buru-buru kuraih gagang pintu depan dan menyambutnya. Di hadapanku berdiri sosok laki-laki tinggi berkacamata, basah kuyup, di wajahnya terlukis semburat senyum. Bahkan sampai sekarang hatiku luluh melihat senyum itu.
“Assalamu’alaikum..” Katanya sambil meraih keningku dan mengecupnya. Sesaat aku melayang.
“Waalaikumsalam” Kuraih tangan besarnya, dan kutangkupkan di bibirku. Selalu. Dua tahun pernikahan, dan kebiasaan ini tak menghilang.
“Kamu nunggu aku ya?” Tanyanya ditemani seringai jahil. Aku tersipu. Tentu saja aku menunggumu, Rei. Tak tahukah kamu seharian ini aku merindukanmu?
“Hehe..Kamu udah makan? Aku masak sayur lodeh kesukaanmu.”
“Oh,ya? Belum, aku lapar. Temani aku makan ya.”
Denting sendok menjadi backsound canda tawa kami malam itu. Rei sibuk menggodaku, membuat pipiku bersemu merah. Tapi, dalam hatiku bertanya-tanya. Ke mana kamu seharian ini, Rei?
“Euum, Rei. Boleh aku bertanya?”
“Silahkan, cinta” Katanya lembut.
“Kamu ke mana seharian ini? Lama sekali pulangnya.” Tanyaku nyaris merengut.
“Ah, iya. Aku lupa memberi tahu. Padahal sepanjang jalan tadi aku sudah mau cerita padamu. Tapi aku lupa karena terpesona oleh cantikmu.” Kamu. Selalu saja menggodaku.
“Cerita apa?” Tanyaku lagi penasaran.
“Tadi ada kecelakaan. Korbannya si Annisa, teman sekantorku.”
“Innalillahi wa innailahi roji’un. Lantas, hubungannya dengan keterlambatanmu, apa?” Aku pura-pura tidak tahu. Padahal jelas terbayang di otakku pasti dia membantu gadis itu ke rumah sakit, menungguinya sejenak, menenangkan gadis yang shock, dan membelikannya makanan. Persis seperti saat dulu aku pertama berjumpa dengannya, saat dulu aku kecelakaan. Sebelum aku tau bahwa kami satu fakultas di kampus.
“Hmm.. Aku bawa dia ke rumah sakit dengan mobilku. Karena dia shock, aku tunggui ia sebentar. Kemudian aku memberinya makanan.” Nah, persis. Aku merasakan dentuman amarah di dadaku. Cemburu? Jadi karena gadis sekantornya aku menunggu seharian?
“Memangnya seberapa parah lukanya?” Kusembunyikan nada jengkel di suaraku.
“Tak parah, sih. Hanya lecet di kening dan tangannya. Kakinya sedikit terkilir.”
“jadi untuk itu aku menungguimu seharian?” Tanyaku tajam. Untuk kening lecet gadis lain? Dia malah tersenyum.
“Aku senang sekali kamu menungguiku. Bukan karena lukanya, cinta. Tapi karena shocknya.” Iya, sama sepertiku yang dulu tiba-tiba linglung saat mobil merah itu menyerempetku. Saat aku menyadari kamu ada di sisi tempat tidurku. Saat kemudian perhatianmu membuat hatiku yang berdinding baja dijebol cinta.
“Harusnya kamu tidak usah pulang. Kamu tunggui saja perempuan itu di rumah sakit. Barangkali dia akan jatuh cinta padamu!” Aku bangkit dari kursi sambil menahan cemburu. Ah, wanita. Betapa pencemburunya. Betapa penakutnya. Tentu, takut kehilanganmu. Rei terkejut dan hanya mengamatiku dengan heran. Aku pergi meninggalkannya yang bengong dengan ceritanya.

***
Ketukan di pintu membuatku menoleh dari bantal yang sedang kutangisi. Berlebihan, memang. Suara Rei mengiba dari luar.
“Cinta..aku mohon buka pintunya.” Ketuknya perlahan. Kuacuhkan saja ketukannya.
“Aina..aku mohon. Kenapa kamu marah?” Ugh, kesal. Tapi akhirnya aku bangkit dan membuka pintu untuknya. Dia memelukku dengan lembut. Seketika amarahku lenyap ditelan dada bidangnya.
“Cinta, ada apa?” Tanyanya di sela rambutku.
“Boleh aku memprotes sesuatu?” Kataku. Dia melepas pelukan itu. Diangkatnya wajahku, dan menatapku dalam. Aku terdiam, tak ingin mengalihkan pandangan.
“Protes saja, cinta..”
“Kamu terlalu baik..” Desahku lemah. Terlalu baik, pada semua orang, laki-laki dan perempuan.
“Apa yang salah dari menjadi baik?” Tanyanya bingung. Aku tersenyum mendengar pertanyaan polosnya.
“Tak ada yang salah dari menjadi baik. Hanya menimbulkan sedikit kekhawatiran, bahwa perempuan lain akan jatuh hati karena kebaikanmu. Seperti aku..” Setetes air mata menitik. Dia melongo. Menjadi baik membuatmu dicintai, Rei. Tapi aku tak suka membagi cinta dengan orang lain.
“Kenapa kamu mengkhawatirkan itu?” Diusapnya sungai kecil di pipiku.
“ Aku tak mau kehilanganmu..”
“Siapa yang akan mengambilku darimu?”
“Gadis-gadis itu. Gadis-gadis cantik yang jatuh hati padamu. Yang menyalahartikan kebaikan dan perhatianmu.” Rei menghembuskan napasnya pelan. Kembali dia memelukku.
Dulu, sebelum menikah, teman-temanku protes saat kukatakan aku akan menikah dengan Rei. Kata mereka, Rei bukanlah aktivis dakwah. Rei tak menjaga pergaulan dengan wanita lain. Masih dengan murah hati mengantar mereka naik sepeda motor. Masih dengan baik hatinya memanggul tas mereka. Masih dengan senyum malaikatnya meminta maaf jika gadis-gadis itu mempermainkannya. Teman-temanku tak setuju, berkata Rei terlalu baik pada semuanya. Aku menyangkal. Walau di lubuk hati aku paham. Tapi aku terlanjur jatuh cinta. Dan entah bagaimana Rei mengatakan dia mencintaiku. Entah bagaimana dia menghampiri kedua orangtuaku, meminta izin untuk mencuri hati anak mereka. Ah, tak perlu kau curi, sudah kuserahkan hati ini. Dan setengah melayang aku terdiam menjawab lamarannya. Diam yang berarti iya. Kebaikan Rei pada orang lain tentu tak berakhir. Dia masih malaikat penolong. Meski beberapa kali aku katakan tak perlu seperti itu, atas dasar cemburu. Harusnya aku mengerti, bahwa baik itu harus. Bahwa menjadi manusia bermanfaat itu layak menjadi cita-cita. Tapi Rei juga harus mengerti, bahwa ada batasan antara lelaki dan perempuan, bahwa hati wanita itu lemah, rapuh, dan mudah goyah. Baik pada mereka berarti mengatakan aku cinta padamu. Wanita itu suka salah presepsi, Rei.
“Tenang, cinta. Jangan mengkhawatirkan apa yang tak perlu kamu khawatirkan. Aku mencintaimu, aku tau itu. Aku bahkan tak sadar ada wanita lain yang menyukaiku, tertarik padaku. Kukira kaulah satu-satunya yang mau denganku. Dan aku adalah satu-satunya yang boleh memilikimu, dan kau juga satu-satunya yang boleh memiliku. Tenang, cinta. Aku tak menganggap gadis-gadis itu sebagai gadis. Mereka hanyalah manusia, cinta. Menjadi manusia berarti harus menjadi baik, bukan?” Rei menatapku lebih dalam. Akhirnya aku menyerah, biarkan malaikat ini menjalankan tugasnya, Aina.

Selasa, 18 Agustus 2015