Aku merenung diam di ruang
tengah. Kuperhatikan rintik hujan dari jendela besar yang menghiasi ruangan
itu. Ah, Rei. Pergi ke mana lagi, sih? Batinku bertanya-tanya. Apa karena hujan
ini kamu lama pulangnya? Aku kesepian. Kutunggu Rei sedari sore hari tadi,
hingga kini malam mulai menyibak. Tiba-tiba
kudengar deru mobil, yang lamat-lamat menjadi diam, berganti debum pintu
mobil dan langkah kaki. Rei! Dia pulang. Buru-buru kuraih gagang pintu depan dan
menyambutnya. Di hadapanku berdiri sosok laki-laki tinggi berkacamata, basah
kuyup, di wajahnya terlukis semburat senyum. Bahkan sampai sekarang hatiku
luluh melihat senyum itu.
“Assalamu’alaikum..” Katanya
sambil meraih keningku dan mengecupnya. Sesaat aku melayang.
“Waalaikumsalam” Kuraih tangan
besarnya, dan kutangkupkan di bibirku. Selalu. Dua tahun pernikahan, dan
kebiasaan ini tak menghilang.
“Kamu nunggu aku ya?” Tanyanya
ditemani seringai jahil. Aku tersipu. Tentu saja aku menunggumu, Rei. Tak
tahukah kamu seharian ini aku merindukanmu?
“Hehe..Kamu udah makan? Aku masak
sayur lodeh kesukaanmu.”
“Oh,ya? Belum, aku lapar. Temani
aku makan ya.”
Denting sendok menjadi backsound
canda tawa kami malam itu. Rei sibuk menggodaku, membuat pipiku bersemu merah.
Tapi, dalam hatiku bertanya-tanya. Ke mana kamu seharian ini, Rei?
“Euum, Rei. Boleh aku bertanya?”
“Silahkan, cinta” Katanya lembut.
“Kamu ke mana seharian ini? Lama
sekali pulangnya.” Tanyaku nyaris merengut.
“Ah, iya. Aku lupa memberi tahu.
Padahal sepanjang jalan tadi aku sudah mau cerita padamu. Tapi aku lupa karena
terpesona oleh cantikmu.” Kamu. Selalu saja menggodaku.
“Cerita apa?” Tanyaku lagi
penasaran.
“Tadi ada kecelakaan. Korbannya
si Annisa, teman sekantorku.”
“Innalillahi wa innailahi roji’un.
Lantas, hubungannya dengan keterlambatanmu, apa?” Aku pura-pura tidak tahu. Padahal
jelas terbayang di otakku pasti dia membantu gadis itu ke rumah sakit,
menungguinya sejenak, menenangkan gadis yang shock, dan membelikannya makanan. Persis
seperti saat dulu aku pertama berjumpa dengannya, saat dulu aku kecelakaan.
Sebelum aku tau bahwa kami satu fakultas di kampus.
“Hmm.. Aku bawa dia ke rumah
sakit dengan mobilku. Karena dia shock, aku tunggui ia sebentar. Kemudian aku
memberinya makanan.” Nah, persis. Aku merasakan dentuman amarah di dadaku. Cemburu?
Jadi karena gadis sekantornya aku menunggu seharian?
“Memangnya seberapa parah
lukanya?” Kusembunyikan nada jengkel di suaraku.
“Tak parah, sih. Hanya lecet di
kening dan tangannya. Kakinya sedikit terkilir.”
“jadi untuk itu aku menungguimu
seharian?” Tanyaku tajam. Untuk kening lecet gadis lain? Dia malah tersenyum.
“Aku senang sekali kamu menungguiku.
Bukan karena lukanya, cinta. Tapi karena shocknya.” Iya, sama sepertiku yang
dulu tiba-tiba linglung saat mobil merah itu menyerempetku. Saat aku menyadari
kamu ada di sisi tempat tidurku. Saat kemudian perhatianmu membuat hatiku yang
berdinding baja dijebol cinta.
“Harusnya kamu tidak usah pulang.
Kamu tunggui saja perempuan itu di rumah sakit. Barangkali dia akan jatuh cinta
padamu!” Aku bangkit dari kursi sambil menahan cemburu. Ah, wanita. Betapa pencemburunya.
Betapa penakutnya. Tentu, takut kehilanganmu. Rei terkejut dan hanya mengamatiku
dengan heran. Aku pergi meninggalkannya yang bengong dengan ceritanya.
***
Ketukan di pintu membuatku
menoleh dari bantal yang sedang kutangisi. Berlebihan, memang. Suara Rei
mengiba dari luar.
“Cinta..aku mohon buka pintunya.”
Ketuknya perlahan. Kuacuhkan saja ketukannya.
“Aina..aku mohon. Kenapa kamu
marah?” Ugh, kesal. Tapi akhirnya aku bangkit dan membuka pintu untuknya. Dia
memelukku dengan lembut. Seketika amarahku lenyap ditelan dada bidangnya.
“Cinta, ada apa?” Tanyanya di
sela rambutku.
“Boleh aku memprotes sesuatu?” Kataku.
Dia melepas pelukan itu. Diangkatnya wajahku, dan menatapku dalam. Aku terdiam,
tak ingin mengalihkan pandangan.
“Protes saja, cinta..”
“Kamu terlalu baik..” Desahku
lemah. Terlalu baik, pada semua orang, laki-laki dan perempuan.
“Apa yang salah dari menjadi
baik?” Tanyanya bingung. Aku tersenyum mendengar pertanyaan polosnya.
“Tak ada yang salah dari menjadi
baik. Hanya menimbulkan sedikit kekhawatiran, bahwa perempuan lain akan jatuh
hati karena kebaikanmu. Seperti aku..” Setetes air mata menitik. Dia melongo.
Menjadi baik membuatmu dicintai, Rei. Tapi aku tak suka membagi cinta dengan
orang lain.
“Kenapa kamu mengkhawatirkan itu?”
Diusapnya sungai kecil di pipiku.
“ Aku tak mau kehilanganmu..”
“Siapa yang akan mengambilku
darimu?”
“Gadis-gadis itu. Gadis-gadis
cantik yang jatuh hati padamu. Yang menyalahartikan kebaikan dan perhatianmu.”
Rei menghembuskan napasnya pelan. Kembali dia memelukku.
Dulu, sebelum menikah,
teman-temanku protes saat kukatakan aku akan menikah dengan Rei. Kata mereka,
Rei bukanlah aktivis dakwah. Rei tak menjaga pergaulan dengan wanita lain.
Masih dengan murah hati mengantar mereka naik sepeda motor. Masih dengan baik
hatinya memanggul tas mereka. Masih dengan senyum malaikatnya meminta maaf jika
gadis-gadis itu mempermainkannya. Teman-temanku tak setuju, berkata Rei terlalu
baik pada semuanya. Aku menyangkal. Walau di lubuk hati aku paham. Tapi aku
terlanjur jatuh cinta. Dan entah bagaimana Rei mengatakan dia mencintaiku.
Entah bagaimana dia menghampiri kedua orangtuaku, meminta izin untuk mencuri
hati anak mereka. Ah, tak perlu kau curi, sudah kuserahkan hati ini. Dan setengah
melayang aku terdiam menjawab lamarannya. Diam yang berarti iya. Kebaikan Rei
pada orang lain tentu tak berakhir. Dia masih malaikat penolong. Meski beberapa
kali aku katakan tak perlu seperti itu, atas dasar cemburu. Harusnya aku
mengerti, bahwa baik itu harus. Bahwa menjadi manusia bermanfaat itu layak
menjadi cita-cita. Tapi Rei juga harus mengerti, bahwa ada batasan antara
lelaki dan perempuan, bahwa hati wanita itu lemah, rapuh, dan mudah goyah. Baik
pada mereka berarti mengatakan aku cinta padamu. Wanita itu suka salah
presepsi, Rei.
“Tenang, cinta. Jangan
mengkhawatirkan apa yang tak perlu kamu khawatirkan. Aku mencintaimu, aku tau
itu. Aku bahkan tak sadar ada wanita lain yang menyukaiku, tertarik padaku.
Kukira kaulah satu-satunya yang mau denganku. Dan aku adalah satu-satunya yang
boleh memilikimu, dan kau juga satu-satunya yang boleh memiliku. Tenang, cinta.
Aku tak menganggap gadis-gadis itu sebagai gadis. Mereka hanyalah manusia,
cinta. Menjadi manusia berarti harus menjadi baik, bukan?” Rei menatapku lebih
dalam. Akhirnya aku menyerah, biarkan malaikat ini menjalankan tugasnya, Aina.