Beberapa tahun mendatang, kita akan
mengenang bahwa mau kita terkadang bukanlah yang terbaik. Seperti aku yang mau
kamu, dan kamu yang sama pula mau aku. Kita berakhir pada air mata saat salah
satu dari kita duduk anggun di pelaminan, sementara yang lain menolak patah
hati lebih dalam dan tidak datang. Aku masih ingat benar bahwa sesungguhnya
kamu ada dalam bayang-bayangku sebelum tidur dan menjelma saat aku bermimpi.
Sosokmulah yang terlintas saat aku bangun karena semalam suntuk kita bersenda
gurau dalam lelap. Pada faktanya, tidak pernah semenit pun aku duga bahwa
malammu juga ditemani mimpi tentangku. Kita sama-sama mau. Kita tau apa yang
kemudian tumbuh dalam hati dan menyemai, lantas berbunga dan merekah.
Tapi, akhirnya kamu dan aku tidak bersama,
bukan? Seharusnya aku bertanya-tanya sebenarnya ada apa dengan kita yang menaut
rasa tapi tidak mengikat janji suci? Aku memang bertanya. Lalu aku menyalahkan
waktu yang mempertemukan dan tempat yang mengijinkan dipijak kita berdua. Aku
mengutuk hujan di bulan Oktober itu, saat kita basah kuyup, serta jeruk panas
yang dihidang. Aku marah pada perhatianmu yang seharusnya tidak menambah mekar
harapan dan menyemu merahkan pipiku. Aku menangis pada pinta yang tak diijabah
dan lalu pertemanan kita menemui kata pisah.
Demikianlah.
Kenyataannya, bertahun yang akan datang,
kita tersadar. Bahwa sebenarnya kita sama-sama ber-ego tinggi dan tidak serasi.
Sungguh bencana jika kemudian aku dan kamu berbagi senyum di pagi hari, lalu
aku memasak untukmu, lalu aku memenuhi kebutuhanmu, namun hatiku merasa
kehampaan luar biasa. Tentu saja. Perpisahan kita adalah jalan terbaik daripada
menumbuhkan belukar yang lebih lebat dari semak cinta kita. Kamu yang dingin
dan tanpa senyum, baiklah, aku bisa terima. Tapi bagaimana dengan kita yang
hanya tau mencintai tanpa tau bagaimana menyenangkannya saling bercerita? Saat
kita tua nanti dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain bercengkerama,
kita akan mengobrol apa? Padahal kita sadar bahwa seleramu dan ku jauh sekali
berbeda. Sangat jauh dan nyaris tak menemui titik temu. Garis penghubung kita
hanyalah rasa kagum yang berkembang menjadi rasa yang lain. Tak lebih.
Barangkali aku akan menjadi bom waktu dan meledak dengan diammu atau kamu
semakin dingin dengan tingkahku.
Maka, bertahun kemudian aku akan menyapamu
dengan bahagia dan berterima kasih karena tidak berjuang lebih keras. Berterima
kasih karena kau memilih berhenti. Berterima kasih karena sosok mungil di
pelukmu itu mendapatkan perhatian.
Maka, bertahun kemudian aku akan bahagia
juga. Aku akan mengikhlaskan apa yang terjadi dan tidak merutuk hujan lagi. Aku
akan mencintainya seperti aku mencintai Tuhan yang menakdirkan pertemuan dan
perpisahan kita.
Kamu adalah apa yang ditakdirkan untuk
kuambil hikmah darinya tanpa harus kumiliki.