Jumat, 05 Oktober 2018

Aku sedang bertanya-tanya, sekiranya gempa yang besar itu hadir di sini, tempatku sedang mengetik ini, bagaimanakah aku?
Mungkin selamat, mungkin tak selamat. Perihal selamat tak selamat itu Allah-lah yang tau, karena ajal tak bisa diterka manusia. Masalahnya, aku tau benar sekian macam dosa kusikat saja. Sengaja tak sengaja, sendiri maupun beramai. Dosa-dosa kecil yang menumpuk ria menjadi besar. Dosa-dosa besar yang aku alpa menganggapnya besar. Kadang lain di hati, lain di mulut, lain di buat. Macam orang tak punya iman.
Aku lebih sering kabur dari mengakui, meski di hadapan Illahi. Pintaku, dosa segitu saja gampang tobatnya. Pasti diampuni, kan?
Aku pasti masuk surga, kan? Percaya diri benar! Padahal banyak firman-Nya dan sabda Rasul-Nya mengenai orang-orang munafik. Ah, janganlah aku digolongkan ke sana. Kudengar mereka berada di kerak neraka selamanya. Mengerikan.

Kembali kita menduga, apa kiranya jika gempa itu menyapa (lagi)?
Tilawahku patah-patah, hapalanku minggat entah ke mana. Rawatib, seolah aku lupa shalat wajib itu berteman dengan shalat sunnah. Sedekah badanku abai dipenuhi, lantaran dhuha lebih sering dilewati. Shalat malam? Malam itu untuk tidur, kawan. Demikian bisik-bisik setan dalam mimpi indahku di Pulau Kapuk. Mulutku makin lama makin meracau saja bahasanya. Mirip orang tak beradab. Akhlaq-ku terjun bebas, mati.

Demikianlah, kawan. Sekiranya bencana demi bencana kualami, siapkah aku mati? Menghadap malaikat yang nanti menanyaiku di alam kubur lalu diadili oleh Yang Maha Adil

Kawan, dosa segunung ini kubuang ke mana? Rasanya sakit parah pun tak bisa membuangnya ke tengah lautan. Kawan, aku terlampau berdosa, aku harus apa?

Sebentar, sepertinya angin membawa kabar. Katanya, istighfar dan mohon ampun kepada Allah Subhana wa ta'ala