Senin, 07 Februari 2022

Keputusan-keputusan Kita

Lapangan yang dikelilingi semak belukar itu nyaris kosong dan sepi sekali, hanya pepohonan rimbun di sekitarnya saja yang sibuk melambai-lambai. Aku curiga pohon itu saling berbisik mengata-ngataiku, berdempetan satu sama lain, lalu diam-diam mencela kebodohanku. Desir angin membelai lembut semua yang ada di sana, tak terkecuali Refa yang putus asa. Ia duduk dengan kaki selonjoran, botol minum di tangan. Kami sama-sama terlalu letih untuk bicara. Dua sepeda bersandar di pinggir lapangan. Aku dan Refa baru mengelilingi lapangan itu sambil mengobrol tanpa akhir yang jelas. Berulang kali kukatakan padanya bahwa tawaran darinya bukan sesuatu yang bisa kuputuskan dalam waktu satu hari. Aku memundurkan ingatan ke 15 menit yang lalu, sebelum kecanggungan ini menguasai kami dan roda sepeda masih berputar ceria.
"Rin, sampai kapan kamu akan menunggu?" Refa merapatkan sepedanya di sebelahku. Aku benci pertanyaan itu karena sesungguhnya aku tidak punya jawaban. Maka aku diam saja.
"Ayolah, Rin. Aku yang tidak sanggup melihatmu begini terus. Kamu harus mendapatkan kepastian!" Desak Refa lagi. Kuhentikan sepeda. Refa buru-buru mengerem, meniruku. Aku menghela napas.
"Kamu tau aku tidak punya jawaban atas pertanyaanmu itu. Kamu juga tau aku lelah sekali. Kamu tau prinsipku. Aku harus bilang apa lagi? Tidak ada yang bisa memberiku kepastian, dan aku tidak sudi menanyakannya sendiri. Aku membuka pintu kesempatan selebar mungkin. Urusan dia mau sampai kapan mampir." Jawabku tegas. Refa menatapku tajam. Aku sadar dia merasa sangat kesal dan tidak puas. Kubalas tatapannya dengan pelototan, lalu ia buang muka. 
"Kamu tau ada aku, Rin.." Katanya pelan. Mukanya masih mengarah ke Pohon Meranti yang menjulang. Ia seolah-olah tidak ingin aku mendengarnya.
"Apa katamu?" Tanyaku.
"Kamu tau selalu ada aku. Aku bisa memberimu kepastian." Katanya gusar. Aku terpana. Dia membalik badan kembali menghadapku, seolah ingin membaca segala mimik yang kupunya. Pasti ada banyak ekspresi yang tertera di sana. Terkejut, terpana, iba, sedih, marah, bahagia yang samar. Tiba-tiba dikayuhnya sepeda. Selama sepuluh menit dia terus mengayuh. Sampai dia memarkir sepeda itu, lalu duduk di dekatku yang lebih dulu turun beristirahat dan meredam dentum di jantungku yang mendadak tak karuan. Hatiku sedikit tenang karena dia tidak kabur. Sehelai daun jatuh. Disusul beribu daun lainnya karena angin mendadak ganas. Dalam hati aku bersyukur karena angin yang berisik itu mengalahkan hening aneh di antara kami.
"Terima kasih, Ref," aku mulai bicara. "Aku rasa kita berdua sudah cukup dewasa, dan hal ini perlu kita bicarakan baik-baik," lanjutku. Refa mengangguk. 
"Rin, aku jengah dengan pertemanan kita." 
Entah berapa kali keterkejutan menghampiriku hari itu. Hatiku panas karena bisa-bisanya Refa malas berteman denganku. Aku menahan diri untuk tidak mencercanya ataupun pura-pura tertawa karena menganggap tingkahnya lucu. Refa tetap serius.
"Kamu mau kita bermusuhan?" tanyaku lagi.
"Bukan, bukan. Aku tidak akan pernah selamanya menginginkan permusuhan. Tapi aku takut, Rin. Aku takut tidak bisa mengontrol perasaanku. Bagaimanapun, kamu seorang perempuan, dan aku laki-laki. Kita cukup lama berteman untuk sadar bahwa pertemanan pria dan wanita tidak bisa berakhir baik. Tidak ketika kamu menikah, aku menikah. Belum sampai tahap itupun, aku risau karena kurasa, berteman denganmu membuatku menjauhi Tuhan. Aku tau kamu gadis yang taat. Sebisa mungkin akupun berusaha menjadi hamba yang demikian. Tapi bersamamu, aku memikirkan hal-hal duniawi." Penjelasan Refa menghadirkan danau di pelupuk mataku. Hatiku terasa sakit sekali.
"Ini tidak ada hubungannya dengan pertanyaanmu tentang kejelasan statusku tadi." Aku menyanggah. Aku berusaha membelokkan arah pembicaraan yang dari dulu sudah kuduga akan terjadi. Refa bertahan dengan topik itu. Katanya, tentu saja ada. Aku sudah bersikeras menunggu seseorang yang 2 bulan terakhir ini jarang sekali kudengar kabarnya. Hanya sedikit sekali kepastian di antara kabar yang sedikit itu. Empat bulan lalu, seseorang bertamu ke rumah, berkenalan, tak lama kemudian meminangku. Awalnya semua lancar, tanggal pernikahan nyaris ditetapkan. Sampai suatu hari masalah melanda, dan si Pria itu harus menunda segala rencana. Refa tau betul kisah ini karena kepada siapa lagi aku bercerita. Sayangnya, si Pria yang jadi permasalahan kemudian pergi entah kemana, dengan sedikit sekali kepastian yang bisa dijanjikan. Sekali-sekali mengatakan urusannya akan segera selesai dan kami bisa menikah. Lalu kemudian hilang. Aku digantung sedemikian rupa, tidak tau masih bertunang atau bisa menerima pinangan lain. Refa bilang, berbulan-bulan ini memikirkan apa jadinya kami. Aku menikah, lalu apa kabar pertemanan ini? Atau, Pria itu tidak datang, haruskah Refa melihatku menangis karena perlakuan pria baru yang brengsek? Kemudian Refa sadar, dia benci sekali harus kehilangan aku. Kontradiktif dengan pernyataannya yang jengah akan pertemanan kami. Dia bimbang sebimbang-bimbangnya, seperti anak burung yang galau haruskah loncat dari sarang untuk bisa terbang atau jatuh ke kematiannya sendiri.
Semakin hari Refa yakin, dia harus membuat keputusan dan Pria baru itu juga tidak boleh semena-mena menempatkanku di persimpangan harapan. 
Aku diam mendengar penjelasannya.
"Refa, aku tidak bisa meninggalkan Pria itu. Bukan karena aku mencintainya, tapi ini prinsip yang kupegang. Aku lebih suka dilukai daripada melukai. Prinsip bodoh ini membawa luka yang banyak. Tapi aku berniat menunggunya," begitulah yang kukatakan setelah jeda panjang.
"Kau tau aku juga menunggumu," katanya. Mungkin aku tau, mungkin juga tidak. Kadang kurasa Refa melihatku dengan cara yang berbeda. Kadang aku merasa dia hanyalah seperti sosok kakak yang menyayangi adiknya. Aku pernah mengkhayalkan bagaimana jika kami bersama, yang kuakhiri dengan gelak karena rasanya konyol sekali.
"Aku tidak tau."
"Kalau begitu, ketahuilah bahwa aku menunggumu. Aku memberimu kepastian." 
Kukatakan padanya itu bukanlah hal yang bisa kuputuskan satu hari. Kukatakan juga, tidak bijaksana sekali caranya mengakui perasaan, padahal tau aku tunangan orang lain. Katanya, aku sama saja sudah dilepas. Sekalipun belum dilepas, sebaiknya aku segera sadar bahwa Pria itu bukan laki-laki yang baik karena sikapnya yang tidak tegas. Dia menasihatiku sebagai kawan, bukan sebagai orang yang mencintai lawan bicaranya. Dia memintaku memikirkan lagi masa depan macam apa yang akan kuhadapi dengan pria selemah itu. Obrolan kami berputar di sekitar situ, dan lagi-lagi kukatakan aku tidak akan bisa segera menjawab.
"Sekalipun aku tidak mencintaimu, sekalipun aku seorang wanita, sekalipun aku bukan kawanmu, aku akan tetap memintamu melihat dengan jelas dan objektif. Menurutmu, kamu yakin bisa bahagia dengan orang yang tidak memberimu kepastian? Aku sahabat karibmu, aku kenal watakmu. Kamu benci hal yang tidak pasti. Skenario di kepalamu ada banyak demi menghindari sakit hati. Kamu cerdas, aku yakin kamu bisa melihat ke arah mana Pria itu akan membawamu." 
Refa mengatakannya dengan sangat tenang sehingga tidak mungkin orang lain akan mengira bahwa Refa punya perasaan lebih. Nasihat itu tulus sekali. Kemudian tidak ada lagi obrolan. Aku tidak menjawab dan Refa diam saja. Kami larut dalam pikiran masing-masing, lalu berpisah.

***

Rutinitas bersepeda kami tidak lagi menjadi hal yang menyenangkan. Aku takut akan pengakuan Refa, meskipun aku lebih takut kehilangannya. Kami masih berteman, tapi tidak seluwes biasanya. Ada jarak yang diciptakan Refa. Barangkali dia semakin takut akan menjauh dari Tuhan, sesuatu yang beberapa bulan terakhir kusadari juga terjadi padaku. Celah persahabatan itu dimasuki setan. Ada banyak norma yang nyaris kami langgar. Rasa malu untuk berdua-duaan dengan lawan jenis lenyap dari kami. Aku santai saja berhadapan dengannya, seolah dia bukan laki-laki dewasa. Aku mengutuk diriku sendiri, akhirnya paham kenapa Refa memilih mengambil resiko berpisah denganku karena pernyataannya itu. Hanya ada dua jalan yang akan dipilih Refa. Menjadikanku istri, atau selamanya tidak usah berteman lagi dan berkubang di kemaksiatan yang tersirat ini. Seandainya aku tidak dipinang (walaupun aku tidak tau apakah pinangan itu masih berlaku karena si Pria lagi-lagi lupa memberi kabar keberadaannya), aku akan dengan senang hati menerima tawaran Refa. Tidak mudah bagiku jatuh cinta. Aku paham diriku hanya akan terpikat pada suamiku sendiri. Refa memiliki semua kualitas laki-laki idamanku. Obrolan di antara kami yang banyak membuatku yakin, sesungguhnya Refa adalah sosok yang tepat. Seandainya saja aku dan Refa sedari dulu menyadari ini dan tidak membuang-buang waktu; sibuk berkenalan dengan orang lain sembari menjaga persahabatan kami yang dikira tanpa akhir. Sedikit harga diriku tergores, karena aku sesumbar mengatakan tidak akan ada apa-apa di antara kami. Kenyataannya, perasaan Refa semakin dalam dan aku sendiri perlahan berharap si Pria baru itu muncul lalu berkata dia melepasku dari pertunangan tidak jelasnya itu. Orang tuaku sendiri menyerah mengharapkan kabar dari si Pria, karena dia mengaku sedang sibuk, atau berada di tempat yang jauh, atau memintaku menunggu, lalu menghilang lagi. Aneh betul perilakunya. 

***

Enam bulan berlalu sejak aku dipinang. Dua bulan sejak tawaran Refa. Kami belum bermusuhan. Kami masih saling menyapa. Kadang-kadang dia tidak bisa menahan diri dan menghampiriku seperti yang biasa terjadi sebelumnya. Kadang-kadang dia kesal pada dirinya dan seminggu penuh tidak akan menghubungi (namun tetap memastikan aku tau dia menunggu). Aku sendiri mulai bosan dengan semua ketidakjelasan ini. Apakah ini saat yang tepat untuk melepas Pria itu? Bagaimanapun, 6 bulan adalah waktu yang lama. Kalau selama itu kami berkorespondensi, mungkin lain cerita. Tapi 6 bulan ini meyakinkanku, bahwa si Pria hanyalah pria plin-plan yang tidak bisa menetapkan pilihan. Aku seperti memiliki tiket kereta, yang tidak jelas tujuannya dan tidak tau kapan datang. Kurobek tiket itu, aku tidak peduli lagi apakah si Pria akan sakit hati dengan keputusanku. Aku berniat melepaskan ikatan yang longgar itu sesegera mungkin.

***

Belum sempat aku menghubungi si Pria, datanglah kabar mengejutkan. Pria itu menyertakan undangan pernikahannya. Bukan denganku, tapi wanita lain. Aku tidak tau harus syok, marah, terluka, atau tertawa. Sebagian diriku sudah yakin dia akan lari tanpa penjelasan, karena tabiat itu cocok sekali untuknya. Kukabari Refa sambil sedikit bergurau, sekarang dia tidak perlu menunggu lagi. Ternyata, Refa marah besar. Dia mencari kontak pria itu (karena aku menolak memberinya), mencercanya sedemikian rupa, menyuruhnya memutuskanku dengan baik-baik melalui orang tua, dan minta maaf. Aku yakin Pria itu amat tersinggung karena akhirnya dia menghubungiku. Menyalahkan Refa yang tidak dikenalnya, beralasan kalau harusnya aku paham dia sudah melepasku. Aku tertawa saja, dan kuminta dia agar tidak pernah bertingkah macam orang bodoh lagi seperti sekarang. Memintanya tidak pernah lari dari masalah, menanamkan adab yang lebih tinggi bagi dirinya, dan mengatainya pengecut. Semua itu kulakukan dengan tenang. Dia minta maaf padaku, tapi kukatakan bahwa aku tidak butuh maaf itu. Kedua orang tuaku lebih mengharapkan kabar darinya, karena selama ini mereka berprasangka baik. Walaupun lega dengan akhir ini, aku tau orang tuaku hancur karena anaknya dijadikan pilihan lalu ditinggalkan tanpa alasan yang jelas, bahkan tanpa pamit. Kukatakan aku tidak apa-apa, meski ada sisi diriku yang jelas-jelas terluka. Untuk kabar buruk, atau mungkin bahagia ini, aku menangis 2 hari demi mengembalikan harga diriku yang tercabik-cabik.

***

Dengan cepat aku pulih. Aku menyesal karena bukan aku yang lebih dulu memutuskan pertalian itu. Aku terlambat sehari. Tapi biarlah, toh sudah selesai. Jika Refa menawarkan diri lagi, aku bisa menerimanya dengan yakin kali ini. 
Sayangnya, justru sejak saat ia marah-marah pada Pria itu, Refa tidak lagi muncul. Apakah Refa juga akan melukaiku? Membuatku merasakan apa yang dia rasakan. Padahal dia tidak perlu melakukan hal tersebut, aku cukup pengalaman menunggu walaupun tidak tau apa yang sebenernya sedang kunantikan. Tapi kali ini, rasanya sangat menyesakkan. Aku tidak bisa merasa santai, dan setiap hari aku mencarinya. Ada bagian dari jiwaku yang ikut pergi. Aku kesepian.

***

Aku sedang di halaman belakang saat ibuku memanggil dengan ceria. Katanya, gantilah baju dan berias sedikit. Lalu dimintanya aku ke ruang tamu, tempat serombongan wajah familiar yang dulu sering kukunjungi duduk manis. Kusapa kepala keluarga beserta istrinya, di sebelah mereka duduklah sahabatku. Refa menunduk malu. Ingin sekali aku menertawakannya, dan juga memarahinya, karena dia sudah berjanji akan mengabariku kalau-kalau dia akan bertamu ke rumah seseorang. Dia sendiri tidak pernah menghubungiku lagi mulai kejadian marah-marah hingga hari ini. Diangkatnya kepalanya sedikit sambil melambaikan tangan. Inilah Refa, calon suamiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar